Minggu, 20 Juni 2010

Orasi Budaya Oleh Drs. Dadang Sastrodiwirdjo, M.Si

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya kembali memberikan bukti konkrit dalam memajukan dan melestarikan kebudayaan Indonesia, terutama kebudayaan local. Hal ini ditunjukkan dengan digelarnya Orasi budaya yang dilangsungkan bersamaan dengan puncak peringatan dies natalis FISIB ke-2. Orasi budaya dipaparkan langsung oleh budayawan Madura sekaligus wakil bupati kabupaten pamekasan Drs. Kadarisman Sastrodiwirdjo, M.Si.
Pak dadang, begitu beliau sering memaparkan beberapa hal terkait dengan pemberdayaan kebudayaan yang berada di Madura. Makalahnya yang berjudul “Membangun Madura”, yang disampaikan dalam orasi budaya tersebut, berisi berbagai hal terkait dengan pembangunan di Madura terutama dalam segi kebudayaan. Beliau memaparkan bahwa seiring berjalannya perkembangan jaman dan modernisasi serta pengaruh globalisasi yang mulai melanda Indonesia terutama Madura, kebudayaan masyarakat Madura akan mengalami pergeseran. Dalam tatanan kehidupan sosialnya, dianggap akan mengalami pergeseran tetapi tidak sampai kepada akar rumput (grass root). Sedangkan kekhawatiran tertinggi ditunjukkan pada pola pergerseran bahasa ibu atau bahasa daerah. Banyaknya pelajar-pelajar atau anak muda yang enggan menunjukkan jati dirinya sebagai orang Madura menjadi factor utama sehingga bahasa daerah tergerus dengan bahasa lain seperti bahasa Inggris dan sebagainya.
Dengan demikian, beliau mengajak untuk segenap warga Madura baik budayawan, pemerintah dan lainnya untuk merevitalisasi dan membangun kembali kebudayaan Madura baik dengan memberikan reintrepetasi terhadap kebudayaan itu sendiri. Proses itu harus dilakukan mulai dari kelompok yang paling sederhana (keluarga). Selain itu, proses pembangunan citra diri Madura juga perlu ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk mengubah pola pikir masyarakat masyarakat umum yang mempunyai steteotype bahwa orang Madura itu keras, suka perang, carok dan tidak bersahabat. Tetapi patut diperhatikan, salah satu pepatah Madura menyebutkan bango’ pote tolang, atembang pote mata. Pepatah itu mempunyai makna konotasi, daripada menanggung malu, lebih baik mati. Namun, pepatah itu di makna ulang (reintrepetasi) menjadi jika tidak ingin menjadi malu (pote mata) karena tidak sukses, maka harus berusaha keras sampai akhir (pote tolang).
Selain itu, pepatah Madura yang menjadi cirri khas sehari-hari adalah abantal omba’ asapo’ angen, abantal syahadat asapao’ iman. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari,orang Madura selalu berlandaskan kepada hukum islam sebagai patokan utama. Jadi tidak heran jika wilayah Madura dikenal dengan tingkat religiusitasnya yang tinggi.
Dengan digelarnya orasi budaya oleh badan eksekutif mahasiswa fakultas ilmu social dan ilmu budaya ini, diharapkan dapat menumbuhkan rasa cinta warga masyarakat terhadap kebudayaan loka yang mereka miliki sehingga mampu terlindungi dari kerasnya pengaruh arus modernisasi dan globalisasi.

BEM FISIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar